Oleh : Moh Zuhri Akbar, S.H.

Sejak dilantik pada Juli 2021 hingga memasuki periode keduanya, Gubernur Jambi, Wo Haris, tampak kian nyaman duduk di kursi kekuasaan. Statusnya sebagai orang nomor satu di Provinsi jambi seoalah hanya menjadi sarana nenambah daftar panjang “Dosa Politik” yang ia wariskan. Bertahun-tahun menjabat, wo haris tampak lebih sibuk mengembangkan bisnis tambang keluarganya dan membangun jaringan kekuasaan di pusat, ketimbang menghadirkan perubahan yang nyata bagi masyarakat

Ironis, pengelolaan APBD Jambi justru jauh dari kata baik. Padahal Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan jelas mewajibkan pengelolaan keuangan negara secara tertib, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Namun, beberapa proyek dengan anggaran ratusan miliar dijalankan tanpa perencanaan matang hingga berpotensi merugikan negara.

Saya akan jelaskan satu per satu:

Pertama, skandal besar tambang batu bara. Komisi VII DPR RI pernah menyoroti adanya perusahaan tambang di Jambi yang belum melaksanakan reklamasi pascatambang sesuai aturan, dana reklamasi yang tidak jelas penggunaannya, serta laporan RKAB yang tidak transparan. Kasus di Mersam, misalnya, warga meminta pencabutan IUP PT Bangun Energi Indonesia karena tidak membayar royalti/iuran tetap serta lalai melakukan reklamasi. Hal ini melanggar Pasal 99 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mewajibkan perusahaan tambang melaksanakan reklamasi pascatambang dan menyetor dana jaminan.

Kasus serupa juga terjadi di Kotoboyo, HGU Perkebunan sawit dialihkan menjadi lahan tambang batu bara, lubang-lubang bekas tambangnya dibiarkan menganga tanpa reklamasi, yang diduga salah satu perusahaan tambang itu milik keluarga nya Wo Haris, gubernur jambi. Dampak lingkungannya pun sangat mengerikan: kerusakan jalan akibat truk angkutan batu bara, polusi udara, hingga konflik sosial yang meresahkan warga.

Kedua, dugaan korupsi mega proyek multiyears pembangunan Stadion Sepak Bola Pijoan dengan anggaran mencapai Rp 250 miliar. Proyek ini bahkan pernah digugat di Pengadilan Negeri Sengeti terkait status lahan yang belum tuntas, namun pembangunan tetap berjalan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kepatuhan terhadap Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, yang melarang penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara. Dengan perencanaan yang lemah, stadion yang seharusnya menjadi kebanggaan daerah justru berpotensi menjadi “monumen pemborosan”.

Ketiga, dugaan korupsi mega proyek multiyears Islamic Center Jambi. Pembangunan ini sudah menjadi sorotan karena tidak sesuai rancangan awal, dan BPK RI menemukan ketidaksesuaian pekerjaan senilai lebih dari Rp 2,7 miliar — termasuk kekurangan volume dan penggunaan material yang tidak sesuai kontrak. Temuan ini jelas menunjukkan lemahnya pengawasan, dan bertentangan dengan Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mewajibkan pembangunan daerah sesuai dokumen perencanaan (RPJMD dan RKPD).

Keempat, dugaan korupsi proyek pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Putri Pinang Masak yang menelan anggaran Rp 35 miliar. Faktanya, setelah proyek selesai, banyak fasilitas yang tidak berfungsi optimal, sering tergenang air ketika hujan, dan tidak terawat dengan baik. Proyek ini pun berpotensi melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor jika terbukti ada kerugian negara.

Bahwa kami menduga, ada persekongkolan besar yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi, jenderal-jenderal, dan pengusaha-pengusaha tambang. Pola-pola yang sama terjadi berulang, seolah-olah ada jaring kekuasaan yang saling melindungi.

Kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan. Publik Jambi harus sadar bahwa setiap rupiah APBD adalah uang rakyat. Diam berarti membiarkan penjarahan terus berlangsung. KPK, Kejaksaan, dan aparat penegak hukum harus segera turun tangan mengusut tuntas dugaan korupsi ini. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa di era Wo Haris, Jambi tenggelam dalam kubangan korupsi sementara rakyatnya hanya menjadi penonton.