Grace dan Tiga Bayangan: Anatomi Relasi Kuasa RMK di Jambi
Di tengah panasnya politik Jambi dan silang kepentingan proyek energi nasional, nama Grace, penanggung jawab PT RMK Energy di Jambi, tiba-tiba muncul dalam percakapan yang tidak lagi sekadar teknis bisnis, melainkan menjalar ke ruang-ruang kekuasaan lokal. Di ruang rapat, di grup WhatsApp politikus, bahkan di kafe tempat para kontraktor menunggu kabar tender, nama itu beredar dengan pola yang mencurigakan selalu berdampingan dengan tiga tokoh: Hafiz Fattah, Ivan Wirata, dan Cek Endra.
Ketiganya bukan figur sembarangan. Hafiz Fattah, Ketua DPRD Provinsi Jambi yang dikenal punya jejaring kuat dengan birokrasi proyek. Ivan Wirata, mantan kepala dinas yang kini menjelma menjadi politisi strategis, piawai menavigasi kepentingan antara legislatif dan kontraktor. Dan Cek Endra, anggota DPR RI Dapil Jambi yang masih memegang kendali informal di lingkaran ekonomi daerah pasca-kekalahan Pilgub. Dalam peta kuasa lokal, ketiganya seperti simpul yang mengaitkan bisnis, politik, dan kebijakan publik.
Masuknya PT RMK Energy ke Jambi awalnya tampak seperti ekspansi biasa perusahaan energi yang ingin memperluas jaringan logistik dan batu bara. Namun dalam praktiknya, keberadaan RMK diwarnai aneka kemudahan administratif dan kelancaran izin yang sulit dijelaskan tanpa memahami konteks politiknya. Dari penerbitan rekomendasi proyek, kelancaran logistik di pelabuhan, hingga pengamanan rantai distribusi, semua seolah mendapat karpet merah dari sejumlah instansi yang notabene beririsan dengan pengaruh ketiga nama di atas.
Sumber internal yang memahami peta bisnis energi di Jambi menyebut, “Setiap kali RMK ingin masuk ke wilayah baru, pasti ada yang lebih dulu datang membuka jalan bukan staf, tapi politisi.” Kalimat itu seakan menjelaskan mengapa Grace, yang secara formal hanya berperan sebagai penanggung jawab lapangan, bisa menembus pintu-pintu yang bahkan perusahaan lain pun sulit lewati.
Dalam catatan beberapa pertemuan, Grace diketahui beberapa kali hadir dalam acara nonformal yang juga dihadiri Hafiz Fattah dan Ivan Wirata. Tidak ada yang salah dengan itu sampai muncul kabar bahwa sejumlah pembahasan terkait “sinkronisasi proyek” antara RMK dan pemerintah provinsi dilakukan tanpa dokumentasi resmi. Keterlibatan informal seperti ini mempertegas bahwa di Jambi, batas antara koordinasi bisnis dan lobi politik sering kali tipis, nyaris tak kasat mata.
Hafiz Fattah, dalam posisi sebagai Ketua DPRD, memiliki daya tawar terhadap pembahasan APBD dan proyek-proyek yang beririsan dengan sektor energi. Di titik inilah RMK mendapat ruang manuver: proyek pengangkutan batu bara yang seharusnya tunduk pada kebijakan pusat justru dipengaruhi oleh dinamika politik lokal. Ivan Wirata berperan sebagai jembatan. Ia dikenal sebagai figur yang pandai “meredam” kegaduhan antara birokrasi dan korporasi, menjaga agar urusan administrasi berjalan tanpa gangguan, sementara Cek Endra — dengan jejaring mantan kepala daerah menjadi penghubung pada level yang lebih tinggi.
Dalam permainan seperti ini, nama Grace menjadi “wajah yang bisa diterima” oleh semua pihak. Di depan publik, ia tampil sebagai profesional; di belakang layar, ia menjaga keseimbangan antara kepentingan bisnis dan politik. Sumber lain menyebut, Grace bukan sekadar operator, melainkan figur yang dipercaya oleh pusat perusahaan untuk mengelola dinamika lokal yang sering kali tak bisa dijangkau dari Jakarta.
Dari berbagai keterangan yang beredar, pola ini bukan baru. Di Jambi, hubungan bisnis-politik sudah lama bersifat patron-klien. Namun yang menarik, konfigurasi RMK kali ini terasa lebih terstruktur. Alih-alih menunggu proyek datang, jaringan ini justru menyiapkan proyek untuk dirinya sendiri dari penyusunan regulasi daerah, hingga lobi-lobi pada tataran teknis. Hafiz dan Ivan di legislatif, Cek Endra di jalur pusat, Grace di lapangan. Sebuah poros yang bekerja rapi tanpa perlu diumumkan.
Yang paling menarik adalah bagaimana ketiganya menggunakan isu publik sebagai legitimasi gerak. Ketika muncul kritik soal kemacetan batu bara di jalur transportasi Jambi, narasi yang dibangun bukan tentang penegakan aturan, melainkan “optimalisasi jalur distribusi” yang tak kebetulan menguntungkan RMK. Bahkan, ketika pemerintah pusat menyoroti dampak lingkungan dari aktivitas tambang, wacana yang diangkat di DPRD justru berputar pada kebutuhan investasi dan lapangan kerja, bukan pada pengawasan perusahaan.
Dalam forum internal partai, nama RMK kerap disebut sebagai contoh “mitra strategis daerah.” Sebutan yang terdengar positif, tapi menyiratkan relasi yang jauh lebih dalam: politikus menyediakan stabilitas kebijakan, perusahaan menyediakan sumber daya ekonomi. Dalam konteks seperti ini, Grace berperan sebagai figur perekat yang menjaga aliran komunikasi tetap cair. Ia tidak berpolitik secara langsung, tetapi menjadi simpul informasi yang sangat menentukan arah keputusan.
Hingga kini, tidak ada bukti hukum yang menunjukkan pelanggaran eksplisit dari hubungan tersebut. Namun dari logika relasi kuasa, mudah terlihat bagaimana arus kebijakan daerah bergeser mengikuti arah kepentingan yang berputar di sekitar tiga nama itu. Jika sebelumnya politik lokal hanya menjadi panggung untuk kontestasi elektoral, kini ia juga menjadi ruang produksi ekonomi yang diatur dari balik meja kopi di mana bisnis dan kekuasaan menegosiasikan keuntungan secara senyap.
Pertanyaan yang tersisa adalah: sejauh mana publik Jambi sadar akan konstruksi kekuasaan baru ini? Di tengah sorotan pada pembangunan infrastruktur dan narasi kemajuan daerah, ada dinamika yang bekerja diam-diam: sebuah koalisi tak resmi antara elite politik dan korporasi energi. Dan seperti biasa, di balik setiap proyek besar, selalu ada seseorang yang tahu kepada siapa harus mengangkat telepon.

Baca juga :  Digitalisasi Administrasi Keuangan BUMDes di Desa Ibru Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi sebagai Upaya Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Laporan Keuangan