Oleh : Aditya Saputra:
Belum genap satu hari setelah dinyatakan rampung, besi lantai jembatan gantung di Tanjung Medan mulai terlepas. Warga yang melintas terpaksa menyeberangi jembatan rapuh yang baru saja direhabilitasi dengan dana ratusan juta rupiah. Beginilah wajah nyata lemahnya pengawasan proyek infrastruktur di Kabupaten Pesisir Selatan.
Proyek rehabilitasi jembatan Damar Rumput–Muara Sakai di Kecamatan Pancung Soal, berdasarkan dokumen kontrak No. 17/BM/7-DAD/PUTR-PS/VII/2025, menelan biaya Rp 530 juta dengan masa pelaksanaan 75 hari kalender. Pekerjaan ini dilaksanakan oleh CV. Doa Bunda di bawah pengawasan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Pesisir Selatan.
Namun ironisnya, hasil pekerjaan yang baru selesai justru menimbulkan keraguan publik. Lebih dari separuh besi lantai lama masih digunakan. Permukaan jembatan tampak tambal-sulam, jauh dari kata rehabilitasi menyeluruh. Di tengah sorotan publik yang kian tajam, pihak pelaksana berdalih proyek tersebut belum PHO (Provisional Hand Over) — atau serah terima sementara — sehingga segala kekurangan masih bisa diperbaiki.
Sebagai tokoh pemuda Inderapura, Aditya Saputra menilai alasan ini tidak cukup kuat. “Kalau alasan belum PHO dijadikan tameng, maka itu hanya bentuk pembenaran terhadap pekerjaan yang tidak profesional. Bagaimana mungkin jembatan yang baru direhab sudah rusak dalam hitungan jam?” ujarnya tegas.
Menurut Aditya, PHO memang secara administratif berarti pekerjaan belum diserahkan penuh kepada pihak pemerintah, karena masih menunggu pemeriksaan teknis. Namun secara moral, proyek yang dibiayai uang rakyat harusnya layak digunakan sejak dinyatakan rampung di lapangan. “Publik tidak peduli soal istilah PHO atau FHO, yang mereka lihat adalah jembatan yang seharusnya aman malah membahayakan,” lanjutnya.
Kritik Aditya bukan tanpa dasar. Ia menyoroti lemahnya fungsi pengawasan teknis Dinas PUPR yang seharusnya memastikan kualitas konstruksi sebelum pekerjaan dinyatakan selesai. Dalam kasus ini, jembatan gantung bukan hanya simbol mobilitas warga, tapi juga ukuran komitmen pemerintah terhadap keselamatan publik.
“Jangan biarkan proyek-proyek seperti ini menjadi formalitas. Uang negara bukan bahan percobaan. Masyarakat tidak butuh rehab asal jadi, mereka butuh jembatan permanen yang kokoh dan bertahan lama,” pungkas Aditya.
Kerusakan dini jembatan Tanjung Medan bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan cerminan dari sistem pengawasan yang longgar dan budaya tanggung jawab yang mulai aus . Bila setiap proyek yang gagal bisa berlindung di balik alasan “belum PHO”, maka siapa yang akan benar-benar memastikan kualitas pembangunan di daerah ini?



Tinggalkan Balasan