Di tengah stagnasi ekonomi daerah dan tekanan fiskal pascapandemi, publik Jambi dikejutkan oleh kabar mencolok dari dua media lokal: Warta Pembaruan dan Elang Nusantara. Kedua laporan itu mengungkap angka fantastis total remunerasi direksi Bank Jambi sepanjang 2024 mencapai Rp 14,47 miliar, terdiri atas gaji pokok sebesar Rp 2,12 miliar dan bonus mencapai Rp 12,34 miliar. Angka yang membuat kening berkerut bukan semata karena besarnya, melainkan karena disertai dugaan bahwa salah satu direksi menerima bonus ganda akibat rangkap jabatan internal.

Nama yang disebut dalam laporan itu adalah H. Khairul Suhairi, Direktur Utama yang sekaligus merangkap sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Operasional dan Plt Direktur Pemasaran & Syariah. Artinya, tiga jabatan strategis terkonsentrasi pada satu individu selama satu tahun anggaran penuh. Fakta ini mengundang tanda tanya tajam: apakah remunerasi sebesar itu mencerminkan kinerja, atau justru menyingkap lemahnya sistem tata kelola Bank Jambi sebagai Badan Usaha Milik Daerah?

Dua pemberitaan tersebut konsisten menyebut bahwa total remunerasi direksi Bank Jambi untuk tahun buku 2024 mencapai Rp 14,47 miliar. Namun yang menarik bukan sekadar angka itu, melainkan ketimpangan di dalamnya: bonus atau insentif mencapai enam kali lipat dari gaji pokok. Lebih jauh, bonus itu diduga diberikan lebih dari satu kali karena adanya rangkap jabatan dalam struktur direksi.

Baca juga :  Proyek Stadion Mini Tanjung Medan, Diduga Bermasalah. Proyek Belum Selesai Tapi Sudah Rusak, Dana 150 Juta Kemana?,

Hingga kini, manajemen Bank Jambi belum memberikan klarifikasi resmi kepada publik. Tidak ada pernyataan dari Dewan Komisaris, tidak ada keterangan dari Komite Remunerasi dan Nominasi (KRN) yang semestinya menjadi pengawal objektivitas penilaian kinerja direksi.
Ketiadaan klarifikasi ini bukan hanya masalah etika komunikasi korporasi, melainkan persoalan hukum tata kelola. Karena dalam sistem Good Corporate Governance (GCG), diam adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip transparansi.

  1. Regulasi OJK dan Prinsip Kehati-hatian

Untuk memahami bobot persoalan ini, kita perlu menilik dua regulasi kunci yang menjadi pagar bagi sistem remunerasi bank daerah.

Pertama, Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2015 tentang Tata Kelola Bank Umum Dalam Pemberian Remunerasi Bagi Bank Umum, khususnya Pasal 7,9,10 yang mewajibkan setiap bank memiliki Komite Remunerasi dan Nominasi (KRN). Komite ini bertugas menilai, memastikan, dan mengevaluai kebijakan remunerasi.

Jika dugaan bonus ganda benar adanya, maka dua pelanggaran prinsip muncul bersamaan:
(1) ketidakterbukaan KRN dalam menyampaikan kebijakan remunerasi, dan
(2) ketidakpatuhan terhadap prinsip kehati-hatian (prudential governance) sebagaimana diatur dalam POJK 45/POJK.03/2015.

Baca juga :  Terlapor Pelecehan Kembali ke Kampung, Korban Cemas: Keluarga Desak Polres Merangin Segera Lakukan Penahanan

Regulasi ini menegaskan bahwa kebijakan remunerasi tidak boleh mendorong perilaku berisiko tinggi, menciptakan konflik kepentingan, atau menimbulkan persepsi ketidakadilan antarpegawai. Dalam konteks Bank Jambi, pemberian bonus yang berlipat kepada seorang pejabat yang merangkap jabatan jelas mengancam integritas prinsip kehati-hatian itu sendiri.

  1. GCG dan Krisis Tata Kelola

Dalam doktrin Good Corporate Governance, keseimbangan antara kewenangan dan pengawasan adalah kunci. Setiap keputusan keuangan harus melewati tiga lapisan kontrol: transparansi (publik tahu), akuntabilitas (ada pihak yang bertanggung jawab), dan independensi (tidak ada konflik kepentingan).

Kasus Bank Jambi memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip itu bisa runtuh dalam satu waktu. Rangkap jabatan menghapus independensi, bonus ganda mengaburkan akuntabilitas, dan diamnya manajemen mematikan transparansi.
Yang tersisa hanyalah bentuk formal kelembagaan tanpa substansi etika korporasi.

Dalam konteks BUMD, pelanggaran GCG bukan sekadar soal manajerial, melainkan refleksi relasi kuasa politik-ekonomi daerah. Pemerintah daerah sebagai pemegang saham pengendali seringkali tidak memiliki mekanisme pengawasan efektif terhadap direksi. Sementara komite internal seperti KRN lebih berfungsi sebagai stempel administratif ketimbang organ pengendali yang kritis. Di titik inilah, konsep corporate governance bergeser menjadi governance by relationship di mana kedekatan politik lebih menentukan arah remunerasi daripada kinerja objektif.

  1. Integritas sebagai Krisis Struktural
Baca juga :  Krisis Integritas Bank 9 Jambi: Skandal di Balik Seragam Rapi

Bank Jambi seharusnya menjadi instrumen pembangunan daerah, bukan arena akumulasi rente. Ketika prinsip-prinsip GCG dilanggar di jantung lembaga keuangan milik daerah, yang rusak bukan hanya kepercayaan publik, melainkan juga legitimasi ekonomi daerah itu sendiri.
Krisis tata kelola seperti ini menandakan adanya defisit integritas struktural: sebuah kondisi ketika regulasi ada, namun tidak lagi hidup dalam kesadaran birokrasi dan etika pejabat publik.

Kasus remunerasi direksi Bank Jambi adalah cermin dari persoalan yang lebih dalam yakni, bagaimana kekuasaan ekonomi lokal berjalan tanpa disiplin etika dan hukum. Selama transparansi dan pengawasan masih diperlakukan sebagai formalitas, good corporate governance akan tetap menjadi slogan kosong di atas kertas laporan tahunan.

Kesimpulan:
Remunerasi Rp 14,47 miliar bukan sekadar angka; ia adalah simbol dari retaknya sistem tata kelola publik di tubuh BUMD. Dalam terang regulasi, praktik rangkap jabatan dan dugaan bonus ganda di Bank Jambi bertentangan dengan prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, dan transparansi. Maka, jika GCG hendak ditegakkan bukan sebagai jargon, langkah awalnya adalah sederhana: buka seluruh dokumen remunerasi, jelaskan dasar hukumnya, dan kembalikan publik sebagai pemegang saham sejati.