Sidoarjo —Sisa debu belum sepenuhnya reda ketika suara tangis santri menggema di antara puing bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo. Bau debu semen bercampur tanah masih terasa tajam di udara. Di bawah tenda darurat, para relawan menunduk lemah, sebagian memeluk kitab yang tersisa dari reruntuhan. “Mereka baru selesai belajar tafsir sebelum bangunannya roboh,” kata seorang guru sambil menatap kosong ke arah pondasi yang retak.

Tragedi yang terjadi pada Senin (29/9) 2025 itu menyisakan luka kolektif. Selama sembilan hari penuh, tim SAR bekerja tanpa henti menyisir puing dan lumpur, sebelum akhirnya operasi resmi dihentikan pada Selasa, 7 Oktober 2025. Kepala Basarnas menyebut seluruh area telah diperiksa menyeluruh, dengan hasil akhir: 171 orang berhasil dievakuasi, terdiri dari 104 korban selamat, dan 67 korban meninggal dunia—termasuk delapan bagian tubuh (body part) yang ditemukan terpisah. Dari jumlah korban meninggal, baru 34 jenazah yang teridentifikasi oleh tim DVI Polri.

Bangunan Rapuh, Prosedur yang Terabaikan

Penyelidikan awal mengarah pada lemahnya struktur bangunan. Asrama putra yang runtuh itu dibangun dua lantai menggunakan bahan ringan tanpa perhitungan beban yang matang. Menurut sejumlah warga, pembangunan dilakukan secara swadaya oleh pihak pesantren tanpa pendampingan teknis dari dinas terkait. “Tidak ada papan proyek, tidak pernah terlihat pengawas bangunan,” kata salah satu warga yang tinggal di sekitar lokasi. Sementara itu, Bupati Sidoarjo Subandi mengakui bangunan yang ambruk tersebut tak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Ia pun menyayangkan hal itu. Menurutnya banyak pesantren lebih mendahulukan pembangunan dan mengesampingkan faktor perizinan. Bila terbukti benar, tragedi ini bukan semata bencana, melainkan kelalaian struktural yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.

Baca juga :  Tungkal Pentas Puisi: Membacakan Suara yang Nurani

Takdir atau Kelalaian?

Pernyataan “musibah” yang dilontarkan sejumlah pejabat sontak menuai kritik. Banyak pihak menilai istilah itu justru menutupi akar masalah. “Bangunan pendidikan roboh bukan takdir, tapi akibat sistem pengawasan yang rapuh,” ujar seorang pengamat pendidikan Islam dari Surabaya. Ia menegaskan, ribuan pesantren di Indonesia berdiri tanpa izin operasional yang sah, namun tetap berjalan dengan dalih “swadaya umat”. Tim gabungan dari kepolisian, Kementerian PUPR, dan Kementerian Agama kini masih menelusuri adanya unsur kelalaian dalam proses pembangunan. Jika terbukti, pelaku dapat dijerat pasal kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

Pola Berulang: Kekerasan, Penyimpangan, dan Tragedi

Kasus Al-Khoziny menambah daftar panjang persoalan pesantren di Indonesia. Setiap tahun selalu muncul isu besar, mulai dari kekerasan, pelecehan seksual, hingga penyimpangan ajaran. Data Jaringan Jurnalis Pesantren Indonesia (JJPI) mencatat, sepanjang 2024 terdapat 114 kasus kekerasan di pesantren. Sedangkan laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebut, 101 anak menjadi korban kekerasan seksual di pesantren atau sekolah asrama berbasis agama hanya dalam periode Januari–Agustus 2024. Belum lagi kasus Pesantren Al-Zaytun yang mengguncang publik karena dugaan penyimpangan ajaran. Kini, Al-Khoziny menambah daftar panjang tragedi di dunia pesantren — lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral, bukan sumber malapetaka.

Baca juga :  Tambang Ilegal Bungo: 150 Gelondongan, 3 Lobang Tikus, dan Nama Budi di Tengah Dugaan Pembiaran

Akar Masalah: Dari Legalitas hingga Politik

Analisis redaksi menemukan sedikitnya enam titik lemah yang saling terkait:

  1. Legalitas dan pengawasan – Banyak pesantren berdiri tanpa izin resmi; penegakan hukum administratif nyaris tak berjalan.
  2. Sistem pengasuhan – Pengurus dan senior asrama sering tak memiliki pelatihan perlindungan anak.
  3. Kualifikasi guru dan pimpinan – Tidak semua tenaga pengajar memenuhi standar profesional.
  4. Infrastruktur dan bangunan – Banyak pondok dibangun tanpa perhitungan teknis dan PBG yang sah.
  5. Kurikulum dan pola pendidikan – Ketimpangan masih terjadi antara ajaran agama dan kecakapan sosial.
  6. Relasi politik – Pesantren sering dijadikan basis dukungan politik, yang membuat pengawasan menjadi tumpul karena relasi kuasa.

Audit Nasional dan Evaluasi UU Pesantren

Pasca tragedi Al-Khoziny, desakan publik semakin keras. Pemerintah diminta melakukan audit nasional pesantren tanpa pandang bulu. Audit ini perlu melibatkan lintas lembaga — Kementerian Agama, PUPR, BPK, hingga lembaga independen. Selain itu, perlu evaluasi menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Apakah persoalannya terletak pada norma hukum yang lemah, atau pada penegakan yang mandul? “UU sudah ada, tapi pengawasan tidak hidup,” ujar seorang peneliti kebijakan pendidikan Islam di Jakarta. “Negara baru hadir ketika santri sudah jadi korban.”

Baca juga :  Truk Batu Bara Masih Bebas Lewat Darat, Siapa yang Bermain di Balik Lemahnya Penegakan Aturan?

Dari Puing ke Refleksi

Malam hari di lokasi kejadian kini terasa lengang. Hanya lampu-lampu kecil di tenda darurat yang masih menyala, disebut warga sebagai “lampu doa” bagi mereka yang tak sempat diselamatkan. Namun di balik duka itu, terselip pesan besar: pesantren harus berbenah total. Tragedi Al-Khoziny bukan semata ujian, melainkan peringatan keras bahwa sistem pendidikan berbasis agama di Indonesia sedang sakit. Dan bila negara masih menutup mata, bukan tak mungkin, reruntuhan berikutnya hanya menunggu waktu.