Di wilayah Aur Kenali dan Mendalo, Kota Jambi, warga menghadapi ketidakpastian baru sejak aktivitas pembangunan stockpile dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) oleh PT Sinar Anugerah Suksesindo (SAS) mulai berjalan. Proyek yang diklaim akan mendukung rantai pasok batubara ini ditolak keras oleh masyarakat karena berada sangat dekat dengan permukiman dan sumber air bersih.
Di lokasi yang sama, ratusan warga lainnya memblokir jalan menuju area proyek sambil membawa spanduk bertuliskan “Tolak Stockpile di Pemukiman.”
PT SAS bukan pemain tunggal. Pada Juli 2024, RMK Energy (RMKE) melalui anak usahanya, PT Nusa Batubara Tbk (NBT), resmi mengakuisisi tiga perusahaan tambang di Jambi: PT Sinar Anugerah Suksesindo (SAS), PT Andalan Jambi Resources (AJC), dan PT Bara Selaras Sapta (BSS). Nilai transaksi mencapai sekitar 80 juta dolar AS atau setara 1,3 triliun rupiah.
Akuisisi itu memberi RMKE cadangan batubara sekitar 537 juta ton, dengan proven reserve 180 juta ton dan stripping ratio sekitar 3 banding 1. Ketiga tambang ini disebut memiliki potensi produksi hingga 3,3 juta ton per tahun. RMKE menyebut akuisisi ini sebagai bagian dari rencana “integrasi vertikal” yang meliputi jalur hauling, stockpile, dan pelabuhan batubara sendiri.
Namun, lokasi stockpile yang dikelola PT SAS di Aur Kenali menimbulkan pertanyaan publik. Area tersebut berada di sekitar 800 meter dari instalasi pengambilan air baku PDAM Tirta Mayang—sumber utama air bersih Kota Jambi—dan berbatasan langsung dengan kawasan permukiman padat.
Menurut laporan Mongabay Indonesia (16 Agustus 2025), proyek stockpile dan TUKS PT SAS berdiri di atas lahan sekitar 70 hektar, dengan area penimbunan batubara sekitar 2 hektar yang mampu menampung hingga 70.000 ton. Amdal proyek ini diterbitkan sejak 2015, jauh sebelum munculnya perubahan tata ruang Kota Jambi.
Pemerintah Kota Jambi menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin pembangunan stockpile karena lokasi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam keterangan resmi, Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi menyebutkan bahwa kawasan itu tergolong sebagai zona penyangga pemukiman dan tidak diperuntukkan bagi kegiatan industri berat.
Meskipun begitu, aktivitas di lapangan tetap berlangsung. Warga melaporkan adanya penimbunan rawa, pengerasan jalan, dan lalu lintas truk batubara menuju lokasi proyek. Hal ini memicu protes berulang dari warga Aur Kenali dan Mendalo. Pada pertengahan September, mereka kembali menggelar aksi blokade jalan menuntut penghentian kegiatan PT SAS.
Warga menyampaikan tiga tuntutan utama: menghentikan penimbunan rawa, mencabut izin lingkungan PT SAS, dan meninjau ulang seluruh rencana pembangunan TUKS di sekitar permukiman. WALHI Jambi mendukung aksi tersebut, menyatakan bahwa pembangunan di area itu “berpotensi merusak fungsi ekologis rawa, meningkatkan risiko banjir, dan mengancam kesehatan warga.”
Sementara itu, Pemerintah Kota Jambi menyampaikan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi untuk meninjau kembali izin operasional PT SAS. “Kami tidak mengeluarkan izin untuk pembangunan stockpile di kawasan tersebut karena tidak sesuai dengan RTRW,” ujar perwakilan Dinas Perizinan Kota Jambi.
Di sisi lain, pihak perusahaan berupaya menenangkan situasi. Dalam pernyataan yang dikutip dari beberapa media lokal, manajemen PT SAS menyebut bahwa proyek tersebut akan membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dan tidak akan menimbulkan dampak lingkungan signifikan karena telah memiliki dokumen Amdal yang sah. Mereka juga mengklaim bahwa area rawa akan dijadikan embung untuk mengatur aliran air dan mencegah banjir.
Kasus ini memperlihatkan tarik menarik antara kepentingan ekonomi, regulasi tata ruang, dan hak warga atas lingkungan hidup yang aman. RMK Energy sebagai induk korporasi memiliki pengaruh besar di sektor logistik batubara nasional, termasuk kepemilikan jalur kereta batubara di Sumatera Selatan. Dengan menguasai tambang, jalur hauling, stockpile, hingga terminal ekspor, RMK tengah membangun jaringan distribusi batubara yang terintegrasi penuh dari hulu ke hilir.
Namun, integrasi ini justru menimbulkan persoalan baru di tingkat lokal. Aur Kenali dan Mendalo bukan kawasan industri, melainkan wilayah penyangga Kota Jambi yang berperan penting bagi tata air dan kualitas udara. Ketika kepentingan korporasi masuk ke ruang hidup warga tanpa perencanaan tata ruang yang sinkron, benturan sosial menjadi tak terhindarkan.
Di tengah situasi ini, regulasi yang ada tampak belum cukup kuat. RTRW Kota Jambi telah menetapkan zona pemukiman dan penyangga lingkungan, tetapi pelaksanaan dan pengawasan izin lingkungan masih tumpang tindih antara pemerintah kota, provinsi, dan kementerian teknis. Kondisi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melanjutkan kegiatan dengan dasar perizinan lama yang belum dicabut.
Konflik antara warga Aur Kenali dan PT SAS bukan sekadar sengketa antara masyarakat dan perusahaan. Ini adalah potret ketegangan yang lebih besar antara desentralisasi tata ruang, kekuatan korporasi, dan lemahnya koordinasi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan.
Sampai kini, warga masih menuntut kejelasan hukum dan penghentian permanen pembangunan stockpile di dekat permukiman. Bagi mereka, ini bukan sekadar perlawanan terhadap satu perusahaan, melainkan bentuk pembelaan terhadap ruang hidup yang mulai terdesak oleh ekspansi industri batubara.
________________________________________
Referensi:
• Mongabay Indonesia, 16 Agustus 2025, “Warga Jambi Cemaskan Jalan Angkut dan Terminal Batubara.”
• Kompas Regional, 13 September 2025, “Warga Jambi Protes Stockpile Batubara hingga Blokir Jalan PT SAS.”
• Dialog Berita, 14 September 2025, “Warga Aur Kenali-Mendalo Deklarasikan Perlawanan Tolak Stockpile PT SAS.”
• WALHI Jambi, Siaran Pers, 2025.
• Dunia Energi, 16 Juli 2024, “RMK Energy Akuisisi 3 Tambang Batubara di Jambi Senilai US$80 Juta.”
• Merdeka.com, 2025, “Demo Protes Proyek PT SAS Timbun Rawa, Warga Jambi Khawatir Banjir dan Polusi Udara.”

Tinggalkan Balasan