Nama Muzakir kembali bergema di lingkaran birokrasi Jambi. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Jambi itu disebut-sebut menjadi salah satu kandidat kuat untuk menduduki posisi Sekretaris Daerah Provinsi Jambi jabatan strategis yang menjadi simpul koordinasi seluruh urusan pemerintahan daerah.
Isu ini bukan tanpa alasan. Muzakir dikenal luas sebagai salah satu orang paling dipercaya oleh Gubernur Al Haris. Keduanya memiliki sejarah panjang: hubungan politik dan birokrasi yang telah terjalin sejak masa Al Haris masih menjabat sebagai Bupati Merangin. Dalam perjalanan itu, Muzakir tak hanya menjadi pembantu teknis, melainkan juga bagian dari lingkar loyalis yang menjaga dan mengawal kebijakan Al Haris, bahkan hingga ke ranah politik praktis.
Jejak loyalitas itu tampak dari sejumlah peran penting yang pernah diemban Muzakir. Sebelum menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR Provinsi Jambi, ia pernah mengisi posisi strategis di lingkungan Pemerintah Kabupaten Merangin. Ia kemudian dibawa ke level provinsi saat Al Haris memenangkan Pilgub Jambi. Di mata sebagian pengamat, perpindahan itu bukan semata soal kompetensi teknis, melainkan bagian dari konsolidasi kekuasaan Al Haris membangun pagar loyalitas di sekitar jabatan-jabatan kunci.
Portal JambiLink.id bahkan pernah menyoroti kiprahnya dalam laporan berjudul “Muzakir, Komandan Baru PU Provinsi Jambi”. Dalam laporan itu, Muzakir digambarkan sebagai sosok pekerja yang disiplin dan taktis, tetapi juga sangat dekat dengan Gubernur. Ia menjadi perpanjangan tangan Al Haris dalam berbagai proyek infrastruktur strategis provinsi. Perannya dalam mengamankan agenda pembangunan dan mengendalikan proyek-proyek bernilai besar menjadikannya figur yang sangat berpengaruh di balik layar.
Namun, di sisi lain, kedekatan politik yang terlalu kental justru bisa menjadi pedang bermata dua. Jabatan Sekda idealnya diisi oleh figur yang bukan hanya mampu secara teknis, tetapi juga memiliki jarak etik dari kekuasaan politik. Loyalitas pribadi kepada gubernur sering kali menimbulkan dilema antara kepentingan politik dan kepentingan administrasi publik.
Gubernur Al Haris sendiri dikenal sebagai pemimpin yang lebih mengutamakan loyalis dibanding teknokrat murni. Dalam sejumlah rotasi pejabat tinggi pratama sebelumnya, pola ini tampak konsisten. Bagi Al Haris, menjaga stabilitas politik dan memastikan “orang dalam” memegang posisi strategis tampaknya lebih penting daripada memunculkan figur profesional tanpa keterikatan politik. Dengan logika itu, peluang Muzakir untuk menjadi Sekda secara politis sangat terbuka—selama ia masih menjadi bagian dari orbit loyalitas tersebut.
Meski demikian, jalannya tidak tanpa hambatan. Publik birokrasi masih mencatat berbagai proyek besar yang dikelola Dinas PUPR selama kepemimpinan Muzakir, yang sebagian sempat menuai sorotan terkait keterlambatan, evaluasi anggaran, dan pelaksanaan di lapangan. Walaupun belum pernah ada temuan hukum serius, riak-riak semacam itu bisa menjadi catatan penting dalam proses pertimbangan administratif.
Jika skenario ini benar, dan Muzakir benar-benar diorbitkan untuk menjadi Sekda, maka langkah itu akan mempertegas kecenderungan birokrasi Jambi yang semakin tersentral pada figur Gubernur Al Haris. Loyalitas akan menjadi kriteria utama, sementara teknokrasi tetap di posisi kedua. Di atas kertas, keputusan semacam itu mungkin menjamin stabilitas internal. Tetapi dalam praktik tata kelola pemerintahan, loyalitas tanpa jarak bisa menjadi jebakan yang mengikis fungsi pengawasan dan keseimbangan birokrasi.
Pada akhirnya, menakar peluang Muzakir bukan hanya soal apakah ia mampu atau tidak, tetapi apakah Jambi siap melanjutkan pola birokrasi yang berpusat pada loyalitas personal. Bila jabatan Sekda kembali jatuh pada lingkaran lama, publik berhak bertanya: apakah stabilitas yang dibangun dengan loyalitas pribadi sungguh bisa membawa pemerintahan yang bersih, atau justru memperpanjang rantai patronase di balik gedung gubernuran itu sendiri

Baca juga :  Santri Jadi Urusan Negara, Ditjen Pesantren Siap Diluncurkan