Dugaan penyimpangan dana publik kembali menghantam wajah birokrasi Kabupaten Merangin. Di balik proyek-proyek swakelola di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), tersingkap kabar miring yang mengguncang: aliran dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pembangunan masyarakat justru diduga mengalir ke dua pejabat tinggi pemerintahan daerah.

Nama yang disebut bukan sembarangan. ZHF, Penjabat Sekretaris Daerah, dan Mukti Said (MS), mantan Penjabat Bupati Merangin, diduga menerima dana dari hasil pekerjaan swakelola tersebut. Informasi itu berangkat dari sumber internal PUPR sendiri menunjukkan bahwa indikasi penyimpangan tak lahir dari spekulasi luar, melainkan dari tubuh birokrasi yang mestinya menjaga integritas sistemnya sendiri.

Menariknya, dana yang disebut-sebut mengalir ke dua pejabat tersebut telah dikembalikan ke kas daerah. Namun, di sinilah letak paradoks moral dan hukum birokrasi kita. Pengembalian dana sering diperlakukan sebagai jalan pintas penyelesaian masalah, semacam “ritual administratif” yang seolah-olah bisa menghapus kesalahan. Padahal, dalam tata kelola keuangan negara, pengembalian dana justru memperlihatkan bahwa telah terjadi penyimpangan prosedur meski mungkin belum tentu dikategorikan sebagai tindak pidana.

Baca juga :  Mahasiswa Hukum Jambi Jakarta Meminta Audit dan Penegakan Hukum di Desa Telentam, Merangin (2021-2024)

Pertanyaan mendasar pun muncul: jika memang tidak ada pelanggaran, mengapa uang perlu dikembalikan? Pengembalian tanpa proses klarifikasi yang terbuka hanya memperkuat persepsi publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik mekanisme birokrasi yang kaku dan hierarkis.

Kepala Bidang Bina Marga PUPR, Arya Koswara, telah menyatakan komitmennya untuk menelusuri kembali seluruh temuan lama yang masih menyisakan kewajiban pengembalian keuangan daerah. Komitmen ini tentu patut diapresiasi, tetapi publik menunggu lebih dari sekadar janji. Transparansi dan tindakan nyata adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan masyarakat yang terlanjur tercabik oleh praktik yang berulang di mana “uang rakyat” sering kali lenyap dalam kabut prosedur dan tanda tangan pejabat.

Beberapa hari setelah kabar dugaan itu mencuat, Mukti Said akhirnya buka suara. Dalam klarifikasi yang dimuat Jambi Daily (22 Oktober 2025), ia membantah keras tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak pernah menerima dana swakelola sebagaimana diberitakan, dan menyebut bahwa audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menemukan hal semacam itu. “Tidak benar, sudah clear. Cek saja temuan BPK, tidak ada itu,” ujarnya. Mukti bahkan meminta agar pemberitaan sebelumnya diturunkan karena dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan.

Baca juga :  Grace dan Tiga Bayangan: Anatomi Relasi Kuasa RMK di Jambi

Klarifikasi itu memang penting tetapi tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Dalam prinsip pemerintahan yang baik (good governance), bantahan harus dibarengi dengan pembuktian, bukan hanya pernyataan. Publik berhak tahu: bagaimana mekanisme swakelola itu berjalan? siapa yang menandatangani dokumen pertanggungjawaban? bagaimana proses pengembalian dana dilakukan? dan apakah Inspektorat atau aparat penegak hukum telah melakukan audit lanjutan?

Sampai di sini, kasus ini berubah wujud: dari dugaan penyimpangan anggaran menjadi cermin kerentanan sistem pengawasan internal pemerintah daerah. Fakta bahwa dana dikembalikan tanpa penjelasan rinci menunjukkan adanya lubang besar dalam prinsip akuntabilitas publik. Celah semacam ini sering dimanfaatkan oleh elite birokrasi untuk melindungi diri, bukan memperbaiki sistem.

Lebih dalam lagi, kasus ini memperlihatkan bagaimana struktur kekuasaan lokal sering kali bekerja secara tertutup menyandarkan diri pada loyalitas jabatan, bukan transparansi publik. Ketika seorang pejabat yang disebut dalam laporan memilih diam, sementara yang lain membantah tanpa membuka data pendukung, publik dibiarkan menebak-nebak. Padahal, uang yang dibicarakan adalah uang rakyat.

Baca juga :  Digitalisasi Administrasi Keuangan BUMDes di Desa Ibru Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi sebagai Upaya Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Laporan Keuangan

Dalam konteks inilah, persoalan swakelola PUPR Merangin bukan hanya urusan administratif. Ia menyentuh jantung kepercayaan masyarakat terhadap negara di level paling dekat: pemerintah daerah. Skandal semacam ini, jika tak dijelaskan dengan tuntas, akan menumbuhkan sikap sinis publik terhadap setiap kebijakan pembangunan. Anggaran yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru menjadi tanda betapa lemahnya moral birokrasi dalam menjaga integritas kekuasaan.

Ketika pembangunan kehilangan akuntabilitas, hukum kehilangan wibawa, dan pejabat kehilangan rasa malu, maka “pengembalian dana” bukanlah solusi, pengembalian dana menunjukkan adanya dugaan pelanggaran.