Isu dugaan perselingkuhan yang melibatkan seorang pejabat utama Polda Jambi dengan seorang polwan mencuat ke ruang publik dan memantik sorotan luas. Aroma skandal ini tidak hanya mengguncang internal kepolisian daerah, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang etika dan integritas pejabat kepolisian di tengah upaya Polri memperbaiki citra lembaganya.
Isu ini mulai ramai diperbincangkan setelah sejumlah akun media lokal dan warganet menyorot perilaku pribadi pejabat tersebut di media sosial. Publik semakin tersentak ketika muncul komentar dari akun yang diduga milik anak sang pejabat, menandai bahwa persoalan ini bukan lagi sekadar desas-desus, melainkan berakar pada konflik personal yang dapat ditelusuri.
Namun, alih-alih menjawab secara terbuka, langkah yang diambil Polda Jambi justru menimbulkan tanda tanya baru. Kolom komentar di akun Instagram resmi @poldajambi_official mendadak ditutup setelah isu ini viral. Publik menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengendalian narasi dan upaya meredam reaksi masyarakat, bukan klarifikasi yang dibutuhkan publik. Di era keterbukaan informasi, tindakan semacam ini dianggap kontraproduktif terhadap semangat reformasi birokrasi yang terus digaungkan Polri.
Padahal, isu moral di tubuh aparat penegak hukum tidak bisa semata-mata dianggap urusan pribadi. Pejabat tinggi kepolisian adalah representasi institusi negara pemegang mandat kepercayaan publik. Ketika pelanggaran etika muncul di lingkar teratas, dampaknya bukan hanya pada reputasi individu, tetapi pada kredibilitas lembaga secara keseluruhan. Dalam konteks hukum dan tata kelola pemerintahan, integritas pejabat publik merupakan bagian tak terpisahkan dari legitimasi moral sebuah institusi.
Kasus ini menempatkan Polda Jambi pada posisi sulit: di satu sisi dituntut menjaga nama baik lembaga, di sisi lain harus menegakkan kode etik tanpa pandang bulu. Diamnya institusi di tengah derasnya desakan publik justru menimbulkan kesan bahwa Polri belum sepenuhnya siap menghadapi kritik dengan transparansi. Sementara itu, warganet terus menyoroti sikap defensif aparat di media sosial, menandakan adanya krisis komunikasi publik di tubuh kepolisian daerah.
Transparansi seharusnya menjadi langkah pertama untuk meredam keresahan masyarakat. Polri tidak bisa berlindung di balik dalih “urusan pribadi” ketika pejabat yang bersangkutan menduduki jabatan publik dan menggunakan fasilitas negara. Jika dugaan pelanggaran etika benar adanya, maka penegakan kode etik dan sanksi disipliner bukan hanya kewajiban administratif, tetapi juga moral.
Kasus ini pada akhirnya menjadi ujian bagi Kapolda Jambi dan Mabes Polri: apakah keberanian moral benar-benar menjadi fondasi kepemimpinan, atau justru dikubur dalam diam demi menjaga kenyamanan pejabat. Dalam era keterbukaan informasi, diam bukan lagi pilihan aman melainkan tanda bahwa transparansi belum benar-benar menjadi nilai yang dihidupi.

Tinggalkan Balasan