Pemandangan dua anggota DPRD Jambi Zulkifli Linus dari Fraksi PAN dan Achmad Sarwani dari Fraksi Gerindra turun ke jalan bersama massa demonstran di depan Kantor Gubernur Jambi, semestinya memancing lebih dari sekadar simpati. Ia seharusnya menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah para wakil rakyat ini benar-benar memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota legislatif?
Sebab dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD bukanlah lembaga penggembira. Mereka memiliki tiga fungsi vital: membuat peraturan daerah (fungsi legislasi), menyusun dan menyetujui anggaran bersama kepala daerah (fungsi anggaran), serta mengawasi jalannya pemerintahan (fungsi pengawasan). Semua hak formal untuk mengkritik dan menekan eksekutif sudah tersedia di meja siding bukan di trotoar.
Maka aneh ketika dua anggota DPRD yang punya hak bicara resmi, hak interpelasi, bahkan hak angket, justru memilih berteriak di jalanan layaknya warga yang tak punya akses terhadap kekuasaan. Jika mereka merasa pemerintah lalai menuntaskan proyek jalan khusus batu bara, seharusnya mereka menggunakan mekanisme konstitusional—memanggil gubernur, meminta penjelasan resmi, bahkan membentuk panitia khusus pengawasan.
Aksi turun ke jalan justru menimbulkan kesan bahwa para legislator itu tidak percaya lagi pada lembaganya sendiri. Dan bila benar demikian, kita patut khawatir: bagaimana rakyat bisa percaya pada DPRD, jika anggotanya saja tak percaya pada kewenangannya sendiri?
Ironinya semakin parah ketika melihat posisi politik Zulkifli Linus. Ia adalah kader Partai Amanat Nasional partai yang sama dengan Gubernur Jambi, Al Haris, yang juga menjabat Ketua DPW PAN Provinsi Jambi. Aksi Zulkifli di jalanan, dengan demikian, bukan sekadar ekspresi protes publik, tetapi juga simbol retak halus di tubuh partai yang selama ini memegang kendali pemerintahan provinsi.
Apakah ini bentuk keberanian politik melawan garis partai, atau sekadar manuver individu untuk menegaskan jarak dari kekuasaan yang mulai kehilangan kepercayaan publik?
Peristiwa ini memperlihatkan betapa dangkalnya pemahaman sebagian anggota DPRD terhadap peran lembaganya. Ketika fungsi pengawasan tidak dijalankan secara efektif, mereka memilih jalan pintas: ikut demo, seolah-olah mereka bagian dari rakyat yang tertindas, padahal merekalah yang diberi mandat untuk memperjuangkan rakyat melalui jalur resmi pemerintahan.
Kursi DPRD seharusnya menjadi tempat suara rakyat diperdengarkan dengan wibawa, bukan sekadar hiasan ruang rapat yang ditinggalkan demi sensasi sesaat di jalanan. Sebab, jika fungsi pengawasan berubah menjadi orasi, dan hak interpelasi diganti dengan poster tuntutan, maka yang sedang terjadi bukan lagi demokrasi yang sehat—melainkan teatrikal politik yang kehilangan arah.

Baca juga :  Mutasi ASN Mantan Napi Narkotika ke PUPR Jambi: Dugaan Manipulasi Dokumen dan Intervensi Pejabat Tinggi