JAMBI — Di balik ekspansi besar-besaran komoditas batu bara oleh PT RMK Energy Tbk (RMKE) dan afiliasinya di Jambi, muncul sorotan tajam: debu batubara, kerusakan lingkungan, jalan rusak — serta dugaan konflik kepentingan melalui relasi kuasa yang melindungi operasional korporasi. Keluhan panjang warga dan aktivis lingkungan kini memunculkan pertanyaan besar: apakah keuntungan korporasi pantas dibayar mahal dengan rusaknya ruang hidup rakyat?
Relasi Kuasa & “Tiga Bayangan” di Balik RMK
Menurut artikel “Civilnews — “Grace dan Tiga Bayangan: Anatomi Relasi Kuasa RMK di Jambi” (7 Oktober 2025), RMK tak hanya sekadar perusahaan tambang — melainkan entitas yang beroperasi lewat jaringan relasi politik, izin dan administrasi, serta elit ekonomi.
Konsekuensi dari relasi ini, kata artikel tersebut, adalah: izin dapat diperoleh atau diperpanjang dengan mudah, aktivitas hauling dan stockpile dijalankan dengan pengawasan minimal, dan ketika warga serta masyarakat sipil menyuarakan keluhan — laporan dan protes kerap gagal ditindaklanjuti secara serius.
Akibatnya: beban sosial dan lingkungan justru dipikul masyarakat kecil dan warga terdampak, sedangkan keuntungan korporasi dan kekuasaan tetap mengalir.
Ekspansi Produksi & Target Bisnis: “Follow the Money” RMK
Data publik menunjukkan bahwa RMKE telah mengakuisisi tiga tambang batubara di Jambi — PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), PT Anugerah Jambi Coalindo (AJC), dan PT Bakti Sarolangun Sejahtera (BSS) — melalui anak usaha pada 16 Juli 2024, senilai sekitar Rp 1,3 triliun.
Target produksi batu bara dari tambang-tambang ini pernah disebut mencapai 1 juta metrik ton pada 2024, dan RMKE menargetkan meningkat menjadi 2 juta metrik ton pada 2025. Sementara dari sisi jasa logistik & muat batubara, RMKE memasang target volume jasa batu bara 11,2 juta ton pada 2025.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa operasional RMK di Jambi bukanlah investasi kecil — melainkan skala besar, dengan potensi dampak lingkungan dan sosial besar pula jika mitigasi lemah. Hal ini memperkuat argumen bahwa warga berhadapan dengan korporasi dengan modal dan kekuasaan signifikan.
Penolakan Warga terhadap Stockpile & Logistik Batu Bara
Gelombang penolakan terhadap rencana fasilitas batu bara di Jambi semakin masif. Warga dari Kelurahan Aur Kenali (Kota Jambi) dan Desa Mendalo Darat (Kabupaten Muaro Jambi) bersama aktivis lingkungan (termasuk WALHI Jambi) memblokir Jalan Lintas Timur, sebagai bentuk protes atas rencana stockpile batubara oleh PT SAS.
Dalam aksi itu, warga menyatakan bahwa fasilitas logistik batubara — stockpile dan hauling — adalah ancaman terhadap ruang hidup mereka: dari polusi debu, pencemaran air, sampai kerusakan infrastruktur dan gangguan kesehatan.
Debu & Kekhawatiran Kesehatan
Pada 18 Agustus 2025, WALHI Jambi menggelar nobar film dokumenter berjudul “Prahara Debu Batubara RMK” bersama masyarakat di Mendalo Darat — sebagai upaya advokasi untuk meningkatkan kesadaran terhadap bahaya batubara. Banyak warga yang menyatakan ketakutan mereka terhadap dampak kesehatan dan kualitas hidup apabila stockpile dan hauling terus berjalan.
Koordinator aksi dan warga menegaskan bahwa mereka tidak anti-investasi, tetapi menolak bentuk investasi yang “mengorbankan ruang hidup dan keselamatan rakyat”.
Izin, Tata Ruang & Potensi Pelanggaran Regulasi
Menurut warga dan WALHI, rencana pembangunan stockpile dan aktivitas logistik milik SAS berada di kawasan yang seharusnya bukan zona industri — melainkan pemukiman padat dan area dekat sumber air. Hal ini, menurut mereka, bertentangan dengan aturan tata ruang (RTRW) serta prinsip perlindungan lingkungan hidup. Penolakan dilakukan sebagai respons terhadap kurangnya transparansi izin dan dokumen lingkungan publik.
Pemerintah daerah — dalam hal ini Pemerintah Kota Jambi — mengakui adanya potensi konflik perizinan dan tata ruang. Namun meski demikian, izin disebut sudah ada sejak lama, serta pengajuan izin dan validitasnya dianggap “berbasis prosedur”. Kritik muncul dari kalangan warga dan aktivis: prosedur formal saja tidak cukup, jika dampak riil terhadap lingkungan dan masyarakat diabaikan.
Ketimpangan Ekonomi & Eksternalisasi Kerugian
Skema batu bara di Jambi — menurut ragam protes dan analisis — menimbulkan ketimpangan: keuntungan besar bagi korporasi, sedangkan warga menanggung kerugian lingkungan, kesehatan, dan ruang hidup. Debu batubara, polusi, potensi pencemaran air, lalu lintas truk berat dan kerusakan jalan — dianggap sebagai “biaya sosial” yang dibebankan kepada publik.
Dengan target produksi dan logistik besar — seperti 2 juta ton produksi, 11,2 juta ton jasa — skala operasional RMK bisa melampaui kemampuan mitigasi dan pengawasan, kecuali ada regulasi dan transparansi ketat.
Tuntutan & Seruan: Transparansi, Audit, dan Demokrasi Lingkungan
Aksi demonstrasi, blokade jalan, nobar komunitas, hingga deklarasi penolakan telah dilakukan warga bersama organisasi sipil. Mereka mendesak:
Peninjauan ulang izin tambang/logistik (stockpile, hauling)
Transparansi penuh dari perusahaan: lokasi stockpile, data AMDAL, pemantauan kualitas udara/air, jalur hauling
Pemerintah daerah berpihak kepada rakyat — bukan hanya kepentingan korporasi
Perlindungan hak atas lingkungan hidup sehat — sebagai bagian dari hak asasi konstitusional rakyat Jambi
Refleksi: Ketika Investasi Menyalahi Ruang Hidup & Demokrasi Lingkungan
Kasus ini memperlihatkan bahwa ekspansi industri batu bara — yang seharusnya membawa keuntungan ekonomi — justru berpotensi mengorbankan hak dasar warga: hak atas lingkungan sehat, hak atas air bersih, hak atas ruang hidup layak, dan hak untuk hidup aman. Ketika akses terhadap informasi izin dan dokumen lingkungan terbatas, ketika warga dianggap “suara kecil”, dan ketika relasi kuasa kuat melindungi korporasi — maka demokrasi lingkungan menjadi fatamorgana.
Warga Jambi tampak tidak tinggal diam. Mereka meminta agar kekuasaan dan modal tidak menjadi tameng untuk mengabaikan hak rakyat kecil — bahwa pembangunan tidak boleh jalan di atas penderitaan masyarakat.
Debu Batubara & Ancaman Kesehatan Warga: Fakta, Testimoni, dan Dokumentasi Lapangan
Potensi ancaman terhadap kesehatan menjadi salah satu kekhawatiran terbesar warga di Mendalo Darat dan Aur Kenali. Debu batubara dari aktivitas hauling dan rencana stockpile dinilai dapat memicu gangguan pernapasan, iritasi mata, hingga berpotensi memperburuk penyakit kronis.
Pada 18 Agustus 2025, WALHI Jambi menggelar pemutaran film dokumenter “Prahara Debu Batubara RMK” bersama masyarakat Mendalo Darat. Dalam diskusi pasca-nobar, warga menyampaikan langsung keluhan dampak debu yang mereka alami sejak truk batubara intens melintas di jalur tersebut. Banyak warga mengatakan bahwa batuk, sesak, dan iritasi kulit meningkat ketika debu menebal — terutama di musim kemarau.
WALHI menyebut bahwa debu batubara mengandung PM10 dan PM2,5, partikel berbahaya yang dapat menembus paru-paru dan memicu penyakit jangka panjang. Sementara itu, warga mendesak pemerintah daerah melakukan uji kualitas udara secara terbuka dan berkala, namun hingga aksi tersebut berlangsung, laporan resmi kualitas udara tidak dipublikasikan secara komprehensif.
Dokumenter tersebut sekaligus menjadi alat advokasi untuk memperlihatkan bahwa aktivitas logistik batu bara tidak sekadar persoalan ekonomi, tetapi menyangkut hak warga atas kesehatan, kualitas udara bersih, dan ruang hidup yang aman.
Referensi & Sumber Berita
RMK Energy target produksi 1 juta ton batu bara 2024 setelah akuisisi tiga tambang di Jambi — Tambang.co.id (Juli 2024)
RMKE bidik produksi 2 juta ton pada 2025 — Tambang.co.id (2025)
RMKE menargetkan jasa angkut batu bara 11,2 juta ton di 2025 — Kompas.com (April 2025)
Akuisisi tiga tambang senilai Rp 1,3 triliun — dokumen resmi RMKE (Juli 2024)
Civilnews. “Grace dan Tiga Bayangan: Anatomi Relasi Kuasa RMK di Jambi” (7 Oktober 2025)
WALHI Jambi — Diskusi publik & pemutaran film “Prahara Debu Batubara RMK” di Mendalo Darat (18 Agustus 2025).
Laporan WALHI Jambi terkait dampak debu batubara terhadap kesehatan dan ruang hidup warga (2025).
Tulisan ini disusun berdasarkan sumber-sumber terbuka, laporan resmi, dan pemberitaan media. Semua informasi disampaikan untuk kepentingan publik, khususnya perlindungan lingkungan hidup dan ruang hidup warga.

Tinggalkan Balasan