Bencana ekologis yang berulang di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara seharusnya menjadi peringatan bagi daerah lain di Sumatra. Namun, seperti banyak pelajaran lingkungan sebelumnya, ia kerap berhenti sebagai catatan tragedi, bukan koreksi kebijakan. Jambi tampaknya berada dalam jalur yang sama: mengetahui risikonya, tetapi tetap mempertahankan arah pembangunan yang berpotensi melahirkan bencana.

Dalam kajian tata kelola lingkungan, bencana tidak pernah hadir secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari akumulasi keputusan politik yang mengabaikan daya dukung alam. Banjir bandang, longsor, dan krisis hidrologi di berbagai wilayah Sumatra memperlihatkan bagaimana alih fungsi lahan, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya berlangsung lebih cepat daripada kemampuan negara mengendalikannya.

Jambi memiliki kondisi ekologis yang rentan. Daerah aliran Sungai Batanghari, kawasan gambut, dan hutan di wilayah hulu merupakan sistem penyangga yang menentukan keselamatan ekologis provinsi ini. Namun, dalam praktiknya, kawasan-kawasan tersebut terus ditekan oleh kepentingan ekonomi ekstraktif. Salah satu yang paling menonjol adalah persoalan batu bara, yang hingga kini belum pernah benar-benar diselesaikan secara struktural.

Baca juga :  Tamparan di SMA Cimarga: Antara Kedisiplin, Kekerasan, dan Wibawa Pendidikan

Pertambangan dan distribusi batu bara di Jambi tidak hanya meninggalkan lubang di tanah, tetapi juga persoalan tata kelola yang berlapis. Kerusakan jalan umum akibat angkutan tambang, pencemaran sungai, sedimentasi, serta konflik dengan masyarakat menjadi realitas yang terus berulang. Meski keluhan publik muncul hampir setiap tahun, respons kebijakan cenderung bersifat sementara dan administratif. Masalah utamanya tetap dibiarkan: model pengelolaan yang menempatkan kepentingan konsesi di atas keselamatan lingkungan.

Dari perspektif ekonomi politik, argumen bahwa batu bara menyumbang pendapatan daerah perlu dibaca secara lebih jujur. Biaya lingkungan dan sosial yang ditimbulkan tidak pernah sepenuhnya dihitung sebagai beban industri. Negara dan masyarakat menanggung kerusakan infrastruktur, penurunan kualitas lingkungan, dan risiko bencana. Dalam kondisi seperti ini, manfaat ekonomi yang sering diklaim justru berubah menjadi ilusi pembangunan.

Tanggung jawab atas situasi ini tidak bisa dilepaskan dari pemangku kekuasaan di daerah: gubernur, wali kota, dan bupati. Mereka memiliki kewenangan dalam penataan ruang, pengawasan izin, dan penegakan aturan lingkungan. Ketika persoalan batu bara terus berulang tanpa penyelesaian mendasar, itu mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsi pengendalian, bukan semata kelemahan teknis.

Baca juga :  Insiden Penginjakan Bendera HMI, Penghormatan Simbol Organisasi

Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan lingkungan menuntut pemerintah bertindak sebelum kerusakan mencapai titik yang tidak dapat dipulihkan. Menunda penataan ulang sektor ekstraktif berarti membiarkan risiko ekologis menumpuk. Pengalaman Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa ketika ambang batas ekologis dilampaui, negara selalu datang terlambat.

Jambi masih memiliki waktu untuk belajar. Tetapi waktu itu tidak akan panjang. Jika pemerintah daerah terus memperlakukan alam sebagai variabel yang bisa dikompromikan melalui konsesi, maka bencana hanyalah soal waktu. Dan ketika itu terjadi, sulit mengatakan bahwa peringatan tidak pernah ada.