Bungo — Warna air Batang Tebo kini lebih mirip cairan lumpur daripada sungai yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat Bungo. Kekeruhan ekstrem, sedimen tebal, dan bau logam mulai terasa sejak masifnya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di hulu sungai. Bunyi mesin dompeng dan aktivitas pengerukan tanah seakan menjadi soundtrack baru kehidupan warga — ritme yang menandai kerusakan ekologi yang semakin tak terbendung.

Bagi masyarakat bantaran sungai, perubahan ini bukan sekadar gangguan. Batang Tebo adalah ruang hidup: sumber air bersih, tempat mencari penghasilan, habitat ikan, sekaligus bentang budaya yang menghidupi kampung-kampung sejak puluhan tahun. Kini, warga mencuci dengan rasa takut, anak-anak dilarang bermain di sungai, dan hasil tangkapan ikan menyusut tajam. Beberapa warga mengaku mengalami gatal-gatal dan iritasi setiap menggunakan air sungai.

Semua ini menjadi gambaran kehancuran ekologi yang terus berjalan tanpa rem. Merkuri dan logam berat yang digunakan untuk memisahkan emas dari material penggalian terbawa arus hingga jauh ke hilir. Tanah di bantaran sungai terkikis, pohon-pohon tumbang, dan ekosistem perairan kehilangan kemampuan regenerasinya. Ketika satu bagian dari ekosistem hancur, seluruh sistem ikut terancam. Di banyak wilayah Sumatera, kerusakan Daerah Aliran Sungai terbukti memicu banjir bandang dan krisis air bersih — dan Batang Tebo kini berada pada risiko yang mengkhawatirkan.

Baca juga :  Warga Cianjur Beramai-Ramai membuat “Gerakan Kirim Beras Ke Sumatra”

Yang memperburuk situasi bukan hanya aktivitas PETI itu sendiri, melainkan absennya tindakan yang tegas dari negara. Nama-nama operator dan pemodal PETI beredar luas di masyarakat. Excavator dan pasokan solar masuk dengan mudah ke kawasan tambang. Semua berlangsung terang-terangan, sementara publik menunggu langkah nyata dari dua pemegang otoritas tertinggi di daerah: Bupati Bungo Dedy Putra dan Kapolres Bungo.

Harapan masyarakat sederhana: sungai harus diselamatkan, PETI harus diberantas. Namun hingga kini, belum terlihat operasi besar yang benar-benar menghentikan aktivitas tersebut. Penertiban pernah dilakukan, tetapi hasilnya hanya sementara. Begitu petugas meninggalkan lokasi, PETI beroperasi kembali. Publik pun mulai mempertanyakan apakah penanganan tambang ilegal hanya formalitas tanpa strategi jangka panjang.

Di tengah kemerosotan lingkungan yang drastis, suara kritik muncul dari berbagai kalangan:
Apakah Bupati Bungo Dedy Putra dan Kapolres Bungo memiliki ketegasan politik dan keberanian hukum untuk menghentikan PETI secara total?
Atau justru kerusakan Batang Tebo akan terus dibiarkan hingga bencana ekologis benar-benar tak terhindarkan?

Baca juga :  Krisis Integritas Bank 9 Jambi: Skandal di Balik Seragam Rapi

Ekonomi jangka pendek yang diperoleh para pemodal PETI hanya dinikmati segelintir orang. Sementara kerugian ekologis, kesehatan, dan sosial justru ditanggung ribuan warga. Jika sungai mati, maka petani, nelayan sungai, peladang, dan masyarakat hilir akan kehilangan ruang hidupnya. Krisis air bersih tidak hanya merusak satu generasi, tetapi menghantui generasi berikutnya.

Salah satu warga bantaran sungai yang diwawancarai (nama disamarkan) menyampaikan dengan getir:
“Kami tidak punya akses ke kebijakan, tapi kami punya hak untuk hidup. Kalau sungai rusak, apa yang tersisa untuk kami?”

Pertanyaan itu sesungguhnya bukan hanya untuk ditujukan kepada pelaku PETI, tetapi juga kepada negara yang memiliki kewenangan mencegah kehancuran ini. Dalam konteks itu, Bupati Bungo Dedy Putra dan Kapolres Bungo berada dalam sorotan tajam publik.

Sejarah akan mencatat:
Apakah keduanya memilih untuk menyelamatkan Batang Tebo dan keberlangsungan hidup masyarakat Bungo, atau gagal bertindak saat sungai sedang sekarat.