Oleh : Yose Gautama Tanjung, S.P.

Indonesia baru saja mencetak rekor impor beras tertinggi dalam tujuh tahun terakhir: 4,52 juta ton pada 2024. Angka itu melonjak hampir 50% dari tahun sebelumnya. Ironisnya, rekor ini lahir di negeri yang menyebut dirinya agraris. Jika beras saja masih harus bergantung pada kapal impor, di mana letak kedaulatan pangan kita?

Fenomena ini memperlihatkan bahwa persoalan pangan bukan sekadar soal perut, melainkan menyangkut stabilitas nasional dan kedaulatan negara. Indonesia sebagai negara agraris menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan lebih dari 270 juta penduduknya di tengah krisis iklim, geopolitik, dan tekanan ekonomi global.

“Lonjakan impor ini menandakan lemahnya kemandirian pangan kita. Situasi ini mengingatkan pada peringatan klasik Thomas Malthus, populasi tumbuh secara geometris sementara pasokan pangan hanya meningkat secara aritmetis. Ketidakpastian pangan adalah persoalan hidup dan mati, sehingga strategi ketahanan pangan nasional mutlak diperlukan. Jika pangan terguncang, negara pun bisa runtuh. Sejarah dunia membuktikan, revolusi besar sering kali dimulai dari krisis pangan. Strategi itu tidak cukup hanya berbicara soal produksi dan distribusi, tetapi juga harus berpijak pada keadilan sosial, pemanfaatan teknologi, dan kedaulatan petani. Kini saatnya pemerintah berhenti menjadikan petani sebagai objek pembangunan, dan mulai menempatkan mereka sebagai subjek utama strategi ketahanan pangan.

  • Keadilan Sosial sebagai Fondasi
    Karl Marx menyebut bahwa ketimpangan dalam sistem kapitalisme menciptakan eksploitasi terhadap kaum pekerja, termasuk petani. Realitas di Indonesia memperlihatkan hal ini: banyak petani bekerja di lahan orang lain, membeli benih dan pupuk dari korporasi besar, lalu menjual hasil panen dengan harga yang dikendalikan tengkulak. Petani kehilangan kendali atas hasil kerjanya.

Strategi ketahanan pangan yang adil menuntut reformasi agraria, pembentukan koperasi tani, intervensi negara dalam harga, serta penyediaan infrastruktur dasar seperti irigasi dan jalan. Pendidikan dan riset pertanian juga penting agar petani naik kelas. Namun, berbeda dengan Marx yang menekankan perubahan struktur kepemilikan, Adam Smith menekankan kebebasan berinovasi. Petani yang diberi akses pasar dan teknologi akan lebih produktif. Artinya, keadilan sosial perlu dipadukan dengan ruang inovasi agar ketahanan pangan tidak hanya berpihak pada korporasi, tapi juga petani kecil.

  • Teknologi sebagai Pengungkit Produktivitas
    Teknologi adalah kunci emansipasi jika dikuasai rakyat, bukan dimonopoli korporasi. Pertanian presisi, bioteknologi, Internet of Things (IoT), hingga kecerdasan buatan (AI) membuka peluang besar bagi pertanian Indonesia. Namun teknologi hanya bermanfaat jika inklusif. Tanpa subsidi, pelatihan, dan pendampingan, petani kecil bisa makin tertinggal. Karena itu, pemerintah perlu mendorong distribusi teknologi yang merata, penyuluhan yang intensif, serta akses e-commerce agar hasil panen bisa dipasarkan langsung. Dengan begitu, teknologi tidak menjadi alat eksklusi, melainkan sarana pemberdayaan.
  • Kedaulatan Petani sebagai Pilar
    Petani adalah aktor utama sistem pangan nasional. Sayangnya, mereka sering berada di posisi paling lemah. Harga jual hasil pertanian kerap tidak sebanding dengan biaya produksi, sementara ketergantungan pada pupuk dan benih impor membuat mereka rentan.

Kedaulatan petani berarti memberi ruang bagi mereka untuk berproduksi secara mandiri, mengelola sumber daya secara berdaulat, dan mendapatkan perlindungan harga. Pemerintah harus menetapkan harga dasar gabah yang layak, memperkuat penyuluhan, serta mendorong diversifikasi pertanian agar desa-desa tahan terhadap guncangan pasar global. Dengan kedaulatan petani, ketahanan pangan bukan hanya program pusat, tetapi juga gerakan desa dan komunitas lokal yang berdaya.

  • Sinergi Tiga Pilar

Ketahanan pangan nasional hanya bisa kokoh jika tiga pilar ini bersinergi:

    1. Keadilan sosial → petani kecil mendapat lahan, harga adil, dan perlindungan dari tengkulak.
    2. Teknologi → akses inklusif bagi semua petani, bukan hanya korporasi besar.
    3. Kedaulatan petani → petani berdaulat atas lahan, air, dan pasar.

Pemerintah harus melibatkan petani, akademisi, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam kebijakan pangan. Sistem logistik nasional harus diperkuat agar distribusi pangan merata hingga pelosok. Pembangunan pertanian juga harus berpihak pada lingkungan melalui pertanian organik dan agroforestri.

Penutup
Ketahanan pangan bukan semata soal ketersediaan beras, melainkan soal kedaulatan bangsa. Selama petani masih lemah dan terpinggirkan, ketahanan pangan akan rapuh. Tetapi jika petani diberdayakan, teknologi dimanfaatkan, dan keadilan sosial ditegakkan, Indonesia tidak hanya mampu memberi makan rakyatnya, tetapi juga menjaga martabatnya sebagai bangsa agraris yang berdaulat. Pertanyaannya sekarang: apakah kita masih rela membiarkan 270 juta rakyat bergantung pada kapal impor? Atau sudah saatnya petani kita benar-benar berdaulat di negeri sendiri?”