Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas proyek jalan Rantau Alai–Pulau Layang di Kabupaten Merangin senilai lebih dari Rp7 miliar membuka indikasi penyimpangan serius dalam pelaksanaan proyek infrastruktur daerah. Proyek yang dibiayai dari APBDP Merangin Tahun Anggaran 2024 ini dikerjakan oleh CV Azka Jaya Mandiri, dengan nilai kontrak Rp6,99 miliar dan telah diserahterimakan pada 14 Oktober 2024 melalui Berita Acara Serah Terima Pertama (PHO).
Namun audit BPK tahun 2025 menemukan bahwa pekerjaan lapisan permukaan jalan (laston lapis aus / AC-WC) tidak sesuai volume kontrak. Kekurangan volume berarti ada pembayaran untuk pekerjaan yang tidak pernah dikerjakan penuh. Dalam bahasa hukum keuangan negara, ini termasuk kategori kelebihan pembayaran yang berpotensi merugikan keuangan daerah.
- Rantai Tanggung Jawab yang Harus Diperiksa
Pertama, kontraktor pelaksana, CV Azka Jaya Mandiri, wajib dimintai pertanggungjawaban atas ketidaksesuaian volume pekerjaan. BPK secara eksplisit menyebut adanya kekurangan fisik pada bagian yang dibayar penuh. Jika kekurangan itu tidak segera dikembalikan ke kas daerah, maka indikasinya dapat mengarah pada perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Kedua, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas PUPR Merangin yang menandatangani kontrak dan menyetujui pembayaran penuh patut diperiksa. Sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kontrak, PPK seharusnya tidak menandatangani Berita Acara Pembayaran (BAST/PHO) jika volume pekerjaan belum sesuai spesifikasi. Penandatanganan dokumen serah terima tanpa verifikasi teknis yang akurat dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
Ketiga, Konsultan Pengawas proyek jika ada dalam paket tersebut harus turut diaudit. Dalam sistem pengadaan pemerintah, pengawas bertugas memastikan mutu, ketebalan, dan volume pekerjaan sesuai spesifikasi. Bila hasil audit BPK menunjukkan kekurangan volume, maka berarti fungsi pengawasan tidak berjalan atau sengaja diabaikan.
Keempat, Kepala Dinas PUPR Merangin sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) wajib diperiksa karena bertanggung jawab secara administratif dan politis terhadap pelaksanaan proyek. Dalam rantai birokrasi proyek pemerintah daerah, KPA tidak bisa beralasan tidak tahu: ia yang menandatangani DPA dan menerima laporan akhir dari bawahannya. Lemahnya kontrol dari Dinas PUPR adalah pintu masuk bagi praktik mark up, manipulasi volume, dan kongkalikong kontraktor.
- Kelemahan Sistem Pengawasan
Proyek senilai miliaran rupiah dengan item pekerjaan publik seperti jalan seharusnya tidak bisa lolos dari pengawasan berlapis. Selain PPK dan pengawas teknis, Inspektorat Daerah punya fungsi pengawasan internal sebelum temuan sampai ke BPK. Fakta bahwa BPK baru menemukan kekurangan volume setelah proyek dinyatakan selesai menunjukkan lemahnya sistem kontrol di internal Pemkab Merangin.
Jika fungsi Inspektorat tidak aktif atau hanya formalitas, maka kerugian daerah selalu baru diketahui setelah jalan rusak atau setelah audit keluar. Situasi seperti ini bukan kesalahan teknis, tetapi kegagalan tata kelola pemerintahan.
- Indikasi Kerugian dan Langkah Hukum
BPK mengategorikan kekurangan volume sebagai potensi kerugian daerah, dan sesuai Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi BPK paling lambat 60 hari setelah laporan diterima. Jika tidak dilakukan, maka temuan itu bisa menjadi dasar bagi penegak hukum Kejaksaan atau Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi.
Dalam konteks ini, aparat penegak hukum perlu memeriksa seluruh pihak yang menandatangani dokumen kontrak dan serah terima proyek, yaitu:
- Direktur CV Azka Jaya Mandiri sebagai pelaksana.
- PPK Dinas PUPR Merangin sebagai pejabat kontrak.
- Konsultan Pengawas proyek.
- Kepala Dinas PUPR Merangin sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
- Inspektorat Daerah Merangin atas potensi kelalaian pengawasan internal.
Kelima unsur ini merupakan rantai yang menentukan ada tidaknya penyimpangan terencana atau kelalaian administratif yang menyebabkan kerugian daerah.
Temuan BPK terhadap proyek jalan Rantau Alai–Pulau Layang bukan hanya soal kekurangan volume teknis, tapi indikasi adanya sistem kerja yang rusak di tubuh Pemkab Merangin. Jika penegak hukum hanya berhenti pada kontraktor, maka akar masalah birokrasi tidak akan tersentuh. Audit dan pemeriksaan harus menyeluruh mulai dari pelaksana lapangan hingga pejabat yang menandatangani pembayaran.
Publik Jambi berhak menuntut transparansi tindak lanjut temuan BPK ini. Karena setiap rupiah dalam proyek itu adalah uang rakyat, dan setiap volume aspal yang hilang berarti hilangnya kepercayaan terhadap integritas pengelolaan keuangan daerah.

Tinggalkan Balasan